Hijrah Dimulai dari Diri Sendiri

 

Hijrah Dimulai dari Diri Sendiri

REVOLUSI mental yang digagas Jokowi saat kampanye capres beberapa bulan lalu hakikatnya adal

ah ajakan untuk berhijrah. Mantan Gubernur DKI yang kini jadi presiden itu menyeru pada kita –utamanya pada mereka yang bersemayam di kursi-kursi kekuasaan—untuk melakukan perubahan mendasar pada mental dan perilaku. Dengan kata lain, mengubah mindset atau pola pikir.

Revolusi yang digaungkan Jokowi bukan revolusi fisik yang biasanya lebih didasari hasrat kekuasaan. Yang digaungkan Jokowi adalah revolusi mental. Revolusi ini menghendaki perubahan secara cepat dan mendasar mindset kita dalam menyikapi segala gejolak ekonomi, sosial, politik maupun dekadensi moral yang terjadi  di sekitar kita.

Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1988 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Tapi, sehebat apa pun kelembagaan yang diciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan.  Selama pribadi-pribadi yang menjalankan sistem tersebut bermental jahiliyah, betapa pun ngototnya mengubah sistem itu, tidak akan ada artinya.

Korupsi tetap jadi trending topik di benak para pemegang kekuasaan, kekerasan menjadi literasi-visualisasi sehari-hari di media massa, kesenjangan ekonomi tak ubahnya gelinding bola salju yang kian lama kian membesar lalu meluluhlantakkan tatanan masyarakat bawah pada setiap lini kehidupannya. Bukan tidak mungkin, kondisi patalistik ini akan melahirkan revolusi berdarah atau penggulingan kekuasaan yang pernah terjadi di era reformasi. Untuk mengubah itu semua diperlukan revolusi mental atau dalam Islam disebut hijrah.

HAJARA

Ditinjau dari sisi literal hijrah berasal dari kata hajara. Dalam Al-Mu’jam al Wasith dijelaskan bahwa hajara berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Hajara juga bisa berarti taraka wathanahu (dia meninggalkan tanah airnya). Hijrah atau hajara di sini konotasinya lebih kuat pada perpindahan tempat.

Jika kita telisik dari sisi sejarah, peristiwa hijrahnya Rasulullah dan para sahabat itu ternyata bukan sekadar perpindahan spasial atau tempat saja; bukan pula sekadar perpindahan fisik dari Makkah ke Madinah; tetapi lebih pada perpindahan dari kekufuran kepada semua hal yang diridoi Allah SWT.

Hijrah Rasulullah ini lebih mengandung makna moral dan  spiritual. Mereka berhijrah dari syirik kepada tauhid, dari pelecehan dan merendahkan kaum wanita kepada penghormatan derajatnya, dari gelimang dosa menuju limpahan pahala.

Hijrah tersebut kemudian menjadi titik balik terwujudnya kejayaan Islam, sekaligus sebagai awal menuju terwujudnya masyarakat yang lebih baik. Allah SWT berfirman dalam QS Albaqarah ayat 28: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dari ayat di atas, tersirat bahwa hijrah terkait dengan iman dan jihad. Hijrah itu merupakan perwujudan keimanan dan pelaksanaannya hanya mungkin dilakukan secara optimal, disertai dengan semangat jihad memerangi hawa nafsu dan segala sifat-sifat buruk yang merusak kehidupan pribadi maupun masyarakat.Proses hijrah tidak bisa dilakukan setengah hati. Harus ikhlas dan bersungguh-sungguh.

DIRI SENDIRI

Apa yang dilakukan Jokowi sejak menjabat wali kota Surakarta, gubernur DKI dan –sejak 20 Oktober lalu—resmi jadi presiden sarat dengan perubahan-perubahan. Ia tidak mau terlalu ketat terikat aturan atau protokoler pemerintahan. Dari gaya hidup, bicara, dan berpolitik lebih sederhana, santun dan lugas. Bahkan ketika rakyat mempersembahkan “pesta” untuk pelantikkannya menjadi presiden, Jokowi sempat melontarkan kritik bahwa dirinya kurang setuju dengan segala sesuatu yang berlebihan.

Revolusi mental Jokowi patut kita apresiasi dalam menyambut Tahun Baru Hijriah 1436. Ada semangat primordial di dalamnya. Yakni perubahan itu, hijrah itu, itu harus dimulai dari diri sendiri. Perubahan itu kemudian diharapkan akan berdampak positif pada orang-orang terdekat seperti keluarga, rekan kerja hingga masyarakat luas. Pada akhirnya akan tercipta tata dunia atau tata masyarakat baru yang lebih baik dan lebih maju dari sebelumnya.

HIJRAH

Secara garis besar ada tiga macam hijrah yang harus dilakukan. Pertama, hijrah pikiran atau hijrah fikriyah. Mengevaluasi dan mengubah cara berpikir dalam memandang diri pribadi dan dunia sekitar meliputi Tuhan, alam dan isinya.

Hasil evaluasi ini akan menentukan apakah pola pikir lama harus dirombak total atau cukup dilakukan sedikit penyempurnaan. Apa pun yang kemudian dilakukan tujuan utamanya cuma satu: pola pikir baru ini harus mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab pada setiap hal yang dilakukan. Ada kesadaran positif yang kuat setiap kali akan melakukan sesuatu sehingga ketika sesuatu itu tidak bernilai manfaat baik bagi diri pribadi dan umat maka sesuatu itu tidak akan dilaksanakan.Kedua, hijrah berbahasa.

Ada peribahasa “mulutmu harimaumu”. Satu kata yang terlontar tanpa kontrol tak jarang menimbulkan gosip, fitnah bahkan pertumpahan darah. Cukup sering kita baca baik di media massa maupun di media sosial gerundelan atau cacian yang ujung-ujungnya menyeret si pelaku ke ranah hukum.

Tak kalah penting dari kedua hal di atas adalah hijrah tindakan atau hijrah sulukiyah. Tak dapat kita pungkiri bahwa kita kadang apriori terhadap apa pun ketimpangan moral atau pun sosial yang terjadi di dekat kita.

Yang sering kita lakukan hanya menonton dan berkomentar. Atau cuma “omdo”, omong doang. Melakukan hijrah pada ketiga hal tadi yakni hijrah pikiran, ucapan serta tindakan, sejatinya melakukan perubahan mendasar pada setiap lini kehidupan kita. Jika setiap individu bersungguh-sungguh atau berjihad melaksanakan ketiga bentuk hijrah tadi bukan hal yang mustahil jika kedamaian serta kesejahteraan akan kita rasakan bersama.

Dan sebagaimana tersirat dari kisah hijrah Nabi, akan teraih pula maslahat dunia dan akhirat. Karena itu, mari kita berhijrah dimulai dari diri sendiri. (*) Redaksi KISS

Tidak ada komentar